Kebahagiaan rumah tangga yang
menjadi tujuan setiap keluarga
terbentuk di atas beberapa faktor,
yang terpenting adalah faktor
anggota keluarga. Mereka inilah
faktor dan aktor pencipta
kebahagiaan dalam rumah
tangga, atau sebaliknya,
kesengsaraan rumah tangga
juga bisa tercipta oleh mereka.
Dari anggota rumah tangga,
faktor yang paling berperan
besar dalam perkara ini adalah
istri, karena dia adalah ratu dan
ikon utama sebuah rumah
tangga, ia adalah rujukan suami
dan tempat kembali anak-anak,
maka dalam bahasa Arab dia
disebut dengan ‘Um’ yang berarti
induk tempat kembali.
Sebagai pemeran utama dalam
panggung rumah tangga, karena
perannya yang cukup signifikan
di dalamnya, maka istri harus
membekali diri dengan sifat-sifat
dan kepribadian-kepribadian
sehingga dengannya dia bisa
mengemban tugas dan
memerankan perannya sebaik
mungkin, dengan itu maka
kondisi yang membahagiakan
dan situasi yang menentramkan
di dalam rumah akan terwujud.
Mengetahui skala prioritas
Dunia memang luas dan lapang,
namun tidak dengan kehidupan,
yang akhir ini, selapang dan
seluas apa pun tetap terbatas,
ada tembok-tembok yang
membatasi, ada rambu-rambu
yang mengekang, namun pada
saat yang sama tuntutan dan
hajat kehidupan terus datang silih
berganti seakan tidak akan
pernah berhenti, kondisi ini mau
tidak mau, berkonsekuensi
kepada sikap memilah skala
prioritas, mendahulukan yang
lebih penting kemudian yang
penting dan seterusnya.
Sebagai ikon dalam rumah
tangga, istri tentu mengetahui
benar keterbatasan rumah
tangga di berbagai sisi
kehidupan, keterbatasan finansial
dan ekonomi misalnya, sebesar
apapun penghasilan suami plus
penghasilan istri (jika istri
bekerja), tetap ada atap yang
membatasi, ada ruang yang
menyekat, tetap ada hal-hal yang
tidak terjangkau oleh uang hasil
usaha mereka berdua, ditambah
dengan jiwa manusia yang tidak
pernah berhenti berkeinginan,
keadaannya selalu berkata,
“Adakah tambahan?”, maka
sebagai istri yang
membahagiakan, dia harus
mengetahui dengan baik prinsip
dasar ini, mendahulukan perkara
yang tingkat urgensinya tertingi
kemudian setelahnya dan
seterusnya.
Keterbatasan dalam hubungan di
antara suami dan istri, mungkin
karena latar belakang keduanya
yang berbeda, tingkat pendidikan
yang berbeda, keluarga yang
berbeda, tabiat dan watak yang
berbeda, hobi dan kesenangan
yang berbeda, waktu yang
tersedia untuk berdua minim,
semua itu membuat hubungan
suami istri serba terbatas,
namun hal ini bukan penghalang
yang berarti, selama istri
memahami kaidah prioritas ini.
Istri yang baik adalah wanita
yang mengetahui tatanan
prioritas dengan baik, dalam
tataran hubungan suami istri,
secara emosinal dan fisik, dalam
tatanan rumah tangga, secara
formalitas dan etika, ia
menempati deretan nomor
wahid.
Realistis dalam menuntut
Di hari-hari pertama pernikahan,
biasanya dalam benak orang
yang menjalani tersusun
rencana-rencana yang hendak
diwujudkan, tertata target-target
yang hendak direalisasikan,
terlintas harapan-harapan yang
hendak dibuktikan. Umum,
lumrah dan jamak. Kata orang,
hidup ini memang berharap,
karena berharap kita bisa tetap
eksis hidup dengan berbagai
macam siatuasi dan kondisinya.
Demikian pula dengan sebuah
rumah tangga. Tahun pertama
harus memiliki anu. Tahun kedua
harus ada ini. Tahun ketiga,
keempat dan seterusnya.
Sekali lagi wajar, selama hal itu
masih realistis. Dan soal harapan
dan ambisi biasanya istri selalu
yang menjadi motornya. Dalam
sebuah ungkapan dikatakan,
“Wanita menginginkan
suami, namun jika dia telah
mendapatkannya, maka dia
menginginkan segalanya.”
Memang tidak semua wanita,
karena ini hanya sebuah
ungkapan dan tidak ada
ungkapan yang general. Namun
dalam batas-batas tertentu ada
sisi kebenarannya, karena tidak
jarang kita melihat beberapa
orang suami yang banting tulang
dan peras keringat demi kejar
setoran yang telah dipatok
istrinya.
Maka alangkah bijaknya jika
dalam menuntut dan
mencanangkan target
memperhatikan realita dan
kapasitas suami, jika sebuah
harapan sudah kadung
digantung tinggi, lalu ia tidak
terwujud, maka kecewanya akan
berat, bak orang jatuh dari
tempat yang sangat tinggi, tentu
sakitnya lebih bukan?
Sebagian istri memaksa suami
menelusuri jalan-jalan yang
berduri dan berkelok-kelok, di
mana dia tidak menguasainya,
jika suami mengangkat tangan
tanda tak mampu mewujudkan
sebagian dari tuntutannya, maka
istri berteriak mengeluh. Hal ini,
sesuai dengan tabiat kehidupan
rumah tangga, menyeret
kehidupan rumah tangga kepada
jalan buntu selanjutnya yang
muncul adalah perselisihan, jika
ia menyentuh dasar kehidupan,
maka bisa berakibat
keruntuhannya.
Seorang istri shalihah selalu
mendahulukan akalnya, dia tidak
membuat lelah suaminya
dengan tuntutan-tuntutan yang
irasional, tidak membebaninya di
luar kemampuannya dan tidak
memberatkan pundaknya
dengan permintaan-permintaan
demi memenuhi keinginan-
keinginannya semata.
Salah satu contoh yang jarang
ditemukan yang terjadi dalam
sejarah tentang keteladanan
sebagian istri yang begitu
memperhatikan keadaan suami
tanpa batas walaupun hal
tersebut berarti mengorbankan
kemaslahatannya sendiri adalah
apa yang diriwayatkan oleh
kitab-kitab ath-Thabaqat tentang
Fatimah az-Zahra` pada saat dia
dan suaminya Ali bin Abu Thalib
mengalami kesulitan hidup yang
membuatnya bermalam selama
tiga malam dalam keadaan lapar,
pada saat Ali melihatnya pucat,
dia bertanya, “Ada apa
denganmu wahai Fatimah?” Dia
menjawab, “Telah tiga malam ini
kami tidak memiliki apa pun di
rumah.” Ali berkata, “Mengapa
kamu diam saja?” Fatimah
menjawab, “Pada malam
pernikahan bapakku berkata
kepadaku, ‘Hai Fatimah, kalau Ali
pulang membawa sesuatu maka
makanlah, kalau tidak maka
jangan memintanya.”
Bermental kaya
Mental kaya, dalam agama
dikenal dengan istilah qana’ah,
rela dengan apa yang Allah
Subhanahu waTa’ala bagi
sehingga tidak menengok dan
berharap apa yang ada di tangan
orang lain.
Kaya bukan kaya dengan harta
benda, namun kaya adalah kaya
hati, artinya hati merasa cukup.
Sebanyak apa pun harta
seseorang, kalau belum merasa
cukup, maka dia adalah fakir.
Kata fakir dalam bahasa Arab
berarti memerlukan, jadi kalau
seseorang masih memerlukan
[baca: berharap dan
menggantungkan diri] kepada
apa yang dimiliki oleh orang lain
tanpa berusaha, maka dia adalah
fakir alias miskin.
Kebahagiaan rumah tangga
bergantung kepada perasan istri
dalam skala lebih besar daripada
yang lain, jika istri tidak
bermental kaya, maka dia akan
selalu merasa kekurangan,
akibatnya dia akan mengeluh ke
mana-mana dengan
kekurangannya. Kurang ini,
kurang itu, kurang anu dan
seterusnya. Mentalnya adalah
mental sengsara, mental miskin,
minim syukur, memposisikan
diri sebagai orang miskin
sehingga seolah-olah dirinya
patut diberi zakat.
Padahal seorang wanita bisa saja
memiliki segala keutamaan di
kolong langit ini, akan tetapi
semua keutamaan ini tidak ada
nilai dan harganya jika yang
bersangkutan mempunyai tabiat
sengsara dan mental miskin.
Kedua tabiat ini bagi wanita
menyebabkan kesengsaraan bagi
suami dan kenestapaan bagi
rumah tangga.
Banyak wanita sejak zaman batu
sampai hari ini merasa nyaman
dengan tabiat sengsara dan
mental miskin ini. Dalam
kehidupan sejarah, Nabiyullah
Ibrahim ’alaihissalam pernah
menemukan dua orang wanita,
yang pertama bermental miskin
dan yang kedua bermental kaya,
keduanya pernah menjadi istri
bagi anaknya, Ismail. Dengan
bahasa sindiran, Nabi Ibrahim
’alaihissalam pernah meminta
Ismail untuk berpisah dari istri
pertamanya. Ibrahim
’alaihissalam melihat istri pertama
anaknya bukan istri yang layak,
karena dia bermental miskin.
Ketika Ibrahim ’alaihissalam
bertanya kepadanya tentang
kehidupannya dengan suaminya,
yang Ibrahim ’alaihissalam
dengar dari mulutnya hanyalah
keluh kesah. Sebaliknya istri
kedua, jawabannya kepada
mertuanya mengisyaratkan
bahwa dia adalah istri yang
pandai bersyukur dan bersikap
qana’ah, maka Ibrahim
’alaihissalam meminta Ismail
untuk mempertahankannya.
Dalam kehidupan ini tidak sedikit
kita menemukan istri model
seperti ini. Ditinjau secara
sepintas dari keadaan rumahnya,
rumah milik sendiri, lengkap
dengan perabotan elektronik
yang modern, didukung
kendaraan keluaran terbaru, tapi
dasar mentalnya mental miskin,
maka yang bersangakutan tetap
mengeluh seolah-olah dia adalah
orang termiskin di dunia. Apakah
hal ini merupakan kebenaran dari
firman Allah Subhanahu
waTa’ala, yang artinya,
“Sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij: 19).
Tanpa ragu, memang.
Jika istri bermental kaya, maka
keluarga akan merasa kaya dan
cukup. Ini menciptakan
kebahagiaan. Jika istri bermental
melarat, maka yang tercipta di
dalam rumah adalah iklim
melarat dan ini menyengsarakan.
(Oleh: Ust. Izzudin Karimi, Lc) sumber. www.alsofwah.or.id

Seorang biasa, gak ada yang istimewa
Related Posts
Label
Popular
-
amal yang istiqomahSaudaraku, yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta ’ala. Saat ini kita telah berada di perten…
-
menjadi wali ALLAHFaedah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Al Furqon baina awliya ar rohman wa …
-
menelanjangi muslimahHai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak- anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: …
-
menguak sejarah valentine's daySesungguhnya, belum ada kesepakatan final di antara para sejarawan tentang apa yang sebenarnya terj…
-
dampak ekonomi riba (2)Lemahnya Peningkatan Ekonomi dan Investasi Di antara tujuan sistem keuangan Islam dan lembaga per…
Posting Komentar
Posting Komentar
jika anda kecewa dengan artikel ini, wajar karena saya jauh dari kata sempurna mohon komentar untuk mengingatkan saya,syukron