Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

tawasul yang di syariatkan dan yang terlarang

At Tauhid edisi V/23
Oleh: Ammi Nur Baits
Segala puji bagi Allah Rabb
semesta alam, Yang membolak
balikkan hati manusia, Raja yang
menguasai segalanya. Siapa
yang Allah beri petunjuk maka
tidak ada yang bisa
menyesatkannya dan siapa yang
disesatkan maka tidak ada yang
bisa memberi petunjuk
kepadanya…
Tawassul dalam tinjauan
bahasa dan Al Qur’an
At tawassul secara bahasa
artinya mendekatkan diri dengan
sesuatu amal (Al Misbahul Munir,
2/660). Bisa juga dimaknai
dengan berharap (ar raghbah)
dan butuh (Lihat Al Mufradat fi
ghoribil Qur’an, 523). Terkadang
juga dimaknai dengan “tempat
yang tinggi”. Sebagaimana
terdapat dalam lafadz do’a
setelah adzan: “Aati
Muhammadanil wasilata…”.
Disebutkan dalam Shahih Muslim
bahwa makna “Al Wasilah” pada
do’a di atas adalah satu
kedudukan di surga yang hanya
akan diberikan kepada satu orang
saja.
Ringkasnya, tawassul secara
bahasa memiliki empat makna:
mendekatkan diri, berharap,
butuh, dan kedudukan yang
tinggi.
Dalam Al Qur’an, kata “Al
Wasilah” terdapat di dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat
35, Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Wahai orang-orang
yang beriman bertaqwalah
kepada Allah dan carilah “Al
Wasilah” kepadaNya dan
berjuanglah di jalanNya agar
kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57,
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Orang-orang yang
mereka seru itu, mereka sendiri
mencari “Al Wasilah” kepada
Rabb mereka, siapakah diantara
mereka yang lebih dekat (kepada
Allah)….”
Dua ayat di atas, terutama surat
Al Maidah ayat 35, sering
digunakan oleh sebagian
masyarakat sebagai dalil untuk
melakukan tawassul yang
terlarang. Penyebabnya adalah
kesalahpahaman dalam
menafsirkan kalimat: “Carilah Al
Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu,
sebelum membahas masalah ini
lebih lanjut, akan dibahas tafsir
kalimat tersebut dengan merujuk
beberapa pendapat para ahli
tafsir dalam rangka meluruskan
pemahaman tentang kalimat di
atas.
Tafsir para ulama tentang makna
Al wasilah pada surat Al Maidah
ayat 35:
1. Al Jalalain, “carilah “Al Wasilah”
kepadaNya”, maknanya: “carilah
amal ketaatan yang bisa
mendekatkan diri kalian kepada
Allah.” (Tafsir Jalalain surat Al
Maidah: 35)
2. Ibnu Katsir menukil tafsir dari
Qatadah, “Carilah “Al Wasilah”
kepadaNya”, tafsirnya:
“mendekatkan diri kepadanya
dengan melakukan ketaatan dan
amal yang Dia ridhai.”
Ibnu Katsir juga menukil tafsir
dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’,
Abu Wail, Al Hasan Al Bashri,
Qotadah, dan As-Sudi, bahwa
yang dimaksud “Carilah Al
Wasilah…” adalah mendekatkan
diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al
Maidah ayat 35)
3. Ibnul Jauzi menyebutkan di
antara tafsir yang lain untuk
kalimat, “Carilah al Wasilah
kepadaNya..” adalah carilah
kecintaan dariNya. (Zaadul Masir,
surat Al Maidah ayat 35).
4. Sementara Al Baidhawi
mengatakan bahwa yang
dimaksud: “carilah al wasilah
kepadaNya…” adalah mencari
sesuatu untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mendekatkan
diri pada pahala yang Allah
berikan dengan melakukan
ketaatan dan meninggalkan
maksiat.” (Tafsir Al Baidhawi
“Anwarut Tanzil” untuk ayat di
atas).
Mengingat keterbatasan tempat,
hanya bisa dinukilkan beberapa
pendapat dari kitab tafsir. Di
samping itu, hampir semua ahli
tafsir menyampaikan pendapat
yang sama dengan empat kitab
tafsir di atas ketika menafsirkan
ayat tersebut. Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat kita
simpulkan bahwa tafsir yang
benar untuk firman Allah: “Carilah
al wasilah kepadaNya…” adalah
melakukan segala bentuk
ketaatan yang bisa mendekatkan
diri kita kepada Allah dan
menjauhi segala perbuatan
maksiat yang bisa menjauhkan
diri kita kepada Allah.
Oleh karena itu, sangat tidak
benar jika ayat ini dijadikan dalil
untuk melakukan tawassul yang
tidak disyari’atkan atau tawassul
bid’ah. Lebih-lebih jika tawassul
tersebut mengandung
kesyirikan. Karena kita menyadari
bahwa dua perbuatan di atas,
nilainya adalah kemaksiatan
kepada Allah. Maka siapa yang
melakukan tawassul dengan
tawassul bid’ah atau tawassul
yang mengandung kesyirikan
justru dia akan semakin jauh dari
Allah. Bukannya dia semakin
dicintai Allah tetapi malah justru
mendatangkan murka Allah.
Tawassul yang disyari’atkan
Berdasarkan penjelasan tentang
pengertian tawassul di atas,
dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya setiap ketaatan dan
sikap merendahkan diri di
hadapan Allah dapat dijadikan
sebagai bentuk tawassul. Namun
di sana ada beberapa amal
khusus yang disebutkan dalam
dalil untuk dijadikan sebagai
bentak bertawassul kepada Allah,
di antaranya:
1) Melalui asmaul husna
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Hanya milik Allah
asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya
…” (QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan ayat tersebut,
dianjurkan bagi setiap yang
hendak berdo’a untuk memuji
Allah terlebih dahulu dengan
menyebut nama-namaNya yang
mulia dan disesuaikan dengan isi
do’a. Misalnya do’a minta
ampunan dan rahmat, maka
dianjurkan untuk menyebut
nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
2) Membaca shalawat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Semua do’a tertutupi
(tidak bisa naik ke langit) sampai
dibacakan shalawat untuk Nabi
Muhammad shallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. At Thabrani dalam
Al Ausath dan dihasankan Al
Albani)
3) Memilih waktu dan tempat
mustajab
Ada beberapa waktu yang
mustajab untuk berdo’a, di
antaranya:
• Waktu antara adzan dan
iqamah, berdasarkan hadits,
“Do’a di antara adzan dan
iqamah tidak ditolak, maka
berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan
dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum
salam, berdasarkan riwayat
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya, “Kapankah do’a
seseorang itu paling didengar?”
Beliau menjawab, “Tengah
malam dan akhir shalat
fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan
dihasankan Al Albani). Yang
dimaksud “akhir shalat fardlu”
adalah setelah tasyahud sebelum
salam.
• Satu waktu di hari jum’at
setelah ‘Ashar, berdasarkan
hadits, “Hari jum’at itu ada 12
jam. Di antaranya ada satu
waktu yang jika seorang muslim
memohon kebaikan kepada Allah
pada waktu tersebut pasti Allah
beri. Cari waktu itu di akhir hari
setelah ashar.” (HR. Abu Daud
dan dishahihkan Al Hakim
dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan
tentang kesempatan yang baik
untuk berdo’a. Masih terlalu
banyak keterangan tentang
waktu dan tempat yang
mustajab untuk berdo’a yang
tidak bisa dipaparkan pada
kesempatan ini.
4) Meminta orang shaleh yang
masih hidup untuk
mendo’akannya
Karena keshalehan dan
kedudukan manusia itu
bertingkat-tingkat. Sehingga
peluang terkabulkannya do’a
seseorang juga bertingkat-tingkat
sebanding dengan kedekatannya
kepada Allah. Oleh karena itu,
ada beberapa sahabat yang
meminta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk
mendo’akannya. Namun ada
beberapa hal yang perlu untuk
diingat terkait dengan meminta
orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan
kebiasaan. Atau bahkan dijadikan
sebagai ucapan latah ketika
ketemu setiap orang. Sering
dijumpai ada orang yang setiap
ketemu orang lain pasti minta
agar dido’akan. Bahkan yang
lebih baik dalam hal ini adalah
berusaha untuk berdo’a sendiri
dan tidak menggantungkan diri
dengan meminta orang lain.
Sebagaimana yang dilakukan
oleh Abu Bakr As Siddiq
radhiallahu ‘anhu yang tidak
meminta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk
mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni
masalah dunia dan untuk
kepentingan pribadinya.
Semacam lulus tes, banyak rizqi,
dan semacamnya. Jika do’a itu
untuk kepentingan pribadinya
maka selayaknya yang diminta
adalah akhirat. Sebagaimana
yang dilakukan oleh para sahabat
dengan meminta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam agar dirinya
dimasukkan ke dalam surga.
Atau, jika do’a itu isinya
kepentingan dunia, maka
selayaknya bukan untuk
kepentingan pribadinya namun
untuk kepentingan umum,
semacam meminta hujan atau
keamanan kampung.
5) Amal shaleh
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Ya Rabb kami,
sesungguhnya kami mendengar
seorang da’i yang mengajak
untuk beriman kepada Engkau
lalu kami beriman…” (QS. Ali
Imran: 193).
Pada ayat di atas Allah
mengajarkan salah satu cara
bertawassul ketika berdo’a,
dengan menyebutkan amal
shalih yang paling besar nilainya,
yaitu memenuhi panggilan
dakwah seorang nabi untuk
beriman kepada Allah.
Masih banyak bentuk-bentuk
tawasul lainnya yang
disyari’atkan, namun mengingat
keterbatasan tempat tidak bisa
disebutkan. Secara ringkas,
tawassul yang disyariatkan dapat
dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah
sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta
orang shaleh yang masih hidup
untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh.
Membaca shalawat, memilih
waktu yang mustajab, dan
semacamnya tercakup dalam
amal shaleh.
Tawassul yang terlarang
Tawassul yang terlarang adalah
menggunakan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah
dengan sesuatu yang tidak
dijelaskan oleh syari’at. Tawassul
yang terlarang dapat
dikelompokkan menjadi dua
macam:
a) Bertawassul dengan sesuatu
yang tidak dijelaskan oleh syariat.
Tawassul jenis ini adalah
tawassul yang terlarang, bahkan
terkadang menyebabkan
timbulnya perbuatan syirik.
Misalnya seseorang bertawassul
dengan kedudukan (jaah) Nabi
‘alaihis shalatu was salam atau
kedudukan orang-orang shaleh
di sisi Allah. Karena tawassul
semacam ini berarti telah
menetapkan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah
yang tidak ada dasarnya dalam
syariat. Karena kedudukan siapa
pun di sisi Allah itu tidak
mempengaruhi terkabulnya doa
orang lain yang
menggunakannya sebagai
sarana tawassul. Kedudukan
hanya bermanfaat bagi
pemiliknya bukan orang lain.
Kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu
was salam di sisi Allah hanya
bermanfaat bagi do’a beliau saja
dan bukan do’a orang lain. Maka
do’a kita tidaklah menjadi cepat
terkabul hanya gara-gara kita
menyebut kedudukan Nabi
‘alaihis shalatu was salam atau
orang shaleh.
Di antara bentuk tawassul
semacam ini adalah tawassul
yang dilakukan sebagian kaum
muslimin pada saat membaca
shalawat Badr. Dalam shalawat
ini terdapat kalimat, yang artinya:
“Kami bertawasul dengan sang
pemberi petunjuk, Rasulullah dan
setiap orang yang berjihad di
jalan Allah, yaitu pasukan perang
badar.”
Para ulama menjelaskan bahwa
tawassul model semacam ini
memiliki dua hukum:
[ Pertama] Hukumnya bid’ah,
karena tawassul termasuk salah
satu bentuk ibadah. Sementara
bentuk tawassul dengan cara ini
belum pernah dipraktekkan di
zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa
sallam dan para sahabat.
[ Kedua] Jika diyakini dengan
menggunakan tawassul jenis ini
menyebabkan do’anya menjadi
cepat terkabul maka hukumnya
syirik kecil. Karena orang yang
menggunakan kedudukan orang
lain di sisi Allah berarti
menjadikan sebab tercapainya
sesuatu yang pada hakekatnya
itu bukan sebab. Pendek kata,
tawassul ini termasuk kedustaan
atas nama syari’at.
Namun, jika bertawassul dengan
menyebut nama Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan tetapi maksudnya
adalah untuk menunjukkan
keimanannya pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seperti ini dibolehkan. Karena ini
termasuk bertawasul dengan
amal shaleh yaitu beriman
kepada nabi.
b) Tawassul dengan ruh orang
shaleh, jin, dan malaikat
Tawassul jenis kedua ini adalah
model tawassul yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik
jahiliyah. Mereka meng-agung-
kan berhala, kuburan, petilasan
orang-orang shaleh karena
mereka yakin bahwa ruh orang
shaleh tersebut akan
menyampaikan do’anya kepada
Allah ta’ala. Bahkan bentuk
tawassul semacam ini
merupakan bentuk kesyirikan
yang pertama kali muncul di
muka bumi. Kesyirikan yang
terjadi pada kaumnya Nabi Nuh
‘alaihi salam. Sebagaimana
keterangan Ibnu Abbas
radliallahu ‘anhuma ketika
menjelaskan awal terjadinya
kesyirikan di saat beliau
menafsirkan surat Al Baqarah
ayat 213. Ibnu Abbas
mengatakan, “Jarak antara Adam
dan Nuh ada 10 abad. Semua
manusia berada di atas syariat
yang benar (syariat tauhid).
Kemudian mereka berselisih
(dalam aqidah). Akhirnya Allah
mengutus para Nabi sebagai
pemberi peringatan.”
Ibnu Abbas juga memberi
keterangan tentang nama-nama
sesembahan kaum Nuh, Wad,
Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan
Nashr, Ibnu Abbas mengatakan,
“Mereka adalah orang-orang
shaleh di zaman Nuh. Ketika
mereka mati, setan membisikkan
kaum Nuh untuk memasang
batu prasasti di tempat
ibadahnya orang-orang shaleh
tersebut dan diberi nama dengan
nama mereka masing-masing.
Kemudian mereka
melaksanakannya namun batu
itu belum disembah. Sampai
ketika generasi ini (kelompok
yang memasang batu) telah
meninggal dan generasi
berikutnya tidak tahu asal mula
batu itu, akhirnya batu itu
disembah.”
Demikian pula, kesyirikan yang
dilakukan kaum musyrikin
jahiliyah. Mereka meyakini
bahwa Lata, Uzza, Manat, Hubal,
malaikat, jin dan beberapa
sesembahan lainnya adalah
orang-orang shaleh yang akan
mendekatkan diri mereka kepada
Allah. Allah menceritakan
jawaban mereka ketika
didakwahi untuk meninggalkan
perbuatan tersebut:
1. Orang-orang musyrikin
mengatakan (yang artinya),
“Mereka semua (ruh orang
shaleh itu) adalah para pemberi
syafaat bagi kami di sisi
Allah.” (QS. Yunus: 18)
2. Orang-orang musyrikin
mengatakan (yang artinya),
“Tidaklah kami beribadah kepada
mereka kecuali agar mereka
mendekatkan diri kami kepada
Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az
Zumar:3)
Artinya orang musyrik tersebut
masih meyakini bahwa yang
berkuasa mengabulkan do’a
adalah Allah. Sedangkan orang-
orang shaleh tersebut hanyalah
sarana mereka untuk berdo’a.
Berdasarkan keterangan dari dua
ayat di atas, ada satu hal penting
yang perlu dicatat bahwasanya
menjadikan ruh orang shaleh
sebagai wasilah untuk
mendekatkan diri kepada Allah
termasuk di antara bentuk
beribadah kepada selain Allah
yang nilainya syirik besar dan
menyebabkan pelakunya
menjadi kafir.
Tanya Jawab
• Kita adalah orang kecil yang
kedudukannya jauh dari Allah.
Maka kita tidak layak meminta
langsung kepada Allah.
Sebagaimana rakyat ketika mau
meminta raja maka selayaknya
tidak langsung meminta namun
melalui menterinya atau orang
yang dekat dengan raja.
Jawab : Orang yang memiliki
keyakinan semacam ini berarti
menyamakan antara Allah yang
Maha Pemurah dan Maha
Mengetahui dengan seorang raja
yang pelit dan buta dengan
keadaan rakyatnya. Maha suci
Allah terhadap sikap mereka
yang melecehkan ke-Tinggi-an
dan ke-Agung-an Allah.
• Manusia semacam kita banyak
berlumuran dosa, maka tidak
pantas meminta langsung
kepada Allah. Namun selayaknya
melalui perantara wali Allah baik
dari kalangan Malaikat, jin, dan
manusia.
Jawab : Pemahaman semacam
inilah yang menyebabkan orang-
orang jahiliyah tidak mau berdo’a
langsung kepada Allah, tetapi
melalui perantara ruh-ruh orang
shaleh yang mereka wujudkan
dalam bentuk prasasti. Bahkan
mereka sama sekali tidak mau
beribadah kepada Allah dengan
menggunakan sarana dari hasil
yang haram. Di antara bukti hal
ini adalah:
Pertama, sikap mereka ketika
mau membangun ka’bah yang
roboh akibat banjir. Kita kenal
bahwa umumnya orang kafir
Quraisy adalah para saudagar
kaya. Namun hasil kekayaan
mereka bercampur antara yang
halal dan yang haram. Ketika
mereka hendak merenovasi
ka’bah mereka iuran dengan
harta yang diyakini murni 100%
halal. Karena harta yang halal itu
terbatas maka dana yang
terkumpul kurang. Sehingga
mereka tidak bisa
merampungkan bangunan
ka’bah sebagaimana sedia kala.
Masih ada bagian yang belum
dibangun dan kemudian mereka
tandai dengan Hijr (orang
mengenalnya dengan hijr
Ismail).
Kedua, orang jazirah arab yang
bukan penduduk Mekah tidak
mau thawaf di ka’bah dengan
pakaian mereka yang sudah
digunakan ketika melakukan
maksiat. Mereka hanya bisa
thawaf dengan pakaian asli dari
penduduk mekah atau kalau tidak
mereka harus thawaf sambil
telanjang.
Meskipun demikian, Allah menilai
sikap mereka ketika berdo’a
dengan ber-tawassul melalui ruh
orang shaleh sebagai bentuk
kesyirikan. Mungkinkah kita
namakan perbuatan ini bukan
syirik? Ketentuan siapakah yang
lebih baik, Allah ataukah kita?
[Ammi Nur Baits]
Kangsoel
Seorang biasa, gak ada yang istimewa

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter