Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

hukum meninggalkan sholat

Para pembaca yang semoga
selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala.
Kita semua pasti tahu bahwa
shalat adalah perkara yang amat
penting. Bahkan shalat termasuk
salah satu rukun Islam yang
utama yang bisa membuat
bangunan Islam tegak. Namun,
realita yang ada di tengah umat
ini sungguh sangat berbeda.
Kalau kita melirik sekeliling kita,
ada saja orang yang dalam KTP-
nya mengaku Islam, namun
biasa meninggalkan rukun Islam
yang satu ini. Mungkin di antara
mereka, ada yang hanya
melaksanakan shalat sekali
sehari, itu pun kalau ingat.
Mungkin ada pula yang hanya
melaksanakan shalat sekali dalam
seminggu yaitu shalat Jum’at.
Yang lebih parah lagi, tidak sedikit
yang hanya ingat dan
melaksanakan shalat dalam
setahun dua kali yaitu ketika Idul
Fithri dan Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin
dengan kondisi umat saat ini.
Banyak yang mengaku Islam di
KTP, namun kelakuannya
semacam ini. Oleh karena itu,
pada tulisan yang singkat ini
kami akan mengangkat
pembahasan mengenai hukum
meninggalkan shalat. Semoga
Allah memudahkannya dan
memberi taufik kepada setiap
orang yang membaca tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa
Meninggalkan Shalat
Termasuk Dosa Besar yang
Lebih Besar dari Dosa Besar
Lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –
rahimahullah- mengatakan,
”Kaum muslimin bersepakat
bahwa meninggalkan shalat lima
waktu dengan sengaja adalah
dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari
dosa membunuh, merampas
harta orang lain, berzina,
mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang
meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –
rahimahullah- berkata, “Tidak ada
dosa setelah kejelekan yang
paling besar daripada dosa
meninggalkan shalat hingga
keluar waktunya dan
membunuh seorang mukmin
tanpa alasan yang bisa
dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga
mengatakan, “Orang yang
mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk
pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat secara
keseluruhan -yaitu satu shalat
saja- dianggap seperti orang
yang berzina dan mencuri.
Karena meninggalkan shalat atau
luput darinya termasuk dosa
besar. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkannya sampai
berkali-kali termasuk pelaku dosa
besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat termasuk
orang yang merugi, celaka dan
termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal.
26-27)
Apakah Orang yang
Meninggalkan Shalat Kafir
Alias Bukan Muslim?
Dalam point sebelumnya telah
dijelaskan, para ulama
bersepakat bahwa meninggalkan
shalat termasuk dosa besar
bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka
tidak berselisih pendapat dalam
masalah ini. Namun, yang
menjadi masalah selanjutnya,
apakah orang yang
meninggalkan shalat masih
muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah-
mengatakan bahwa tidak ada
beda pendapat di antara kaum
muslimin tentang kafirnya orang
yang meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya.
Namun apabila meninggalkan
shalat karena malas dan tetap
meyakini shalat lima waktu itu
wajib -sebagaimana kondisi
sebagian besar kaum muslimin
saat ini-, maka dalam hal ini ada
perbedaan pendapat (Lihat Nailul
Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat
karena malas-malasan dan tetap
meyakini shalat itu wajib, ada
tiga pendapat di antara para
ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan
bahwa orang yang
meninggalkan shalat harus
dibunuh karena dianggap telah
murtad (keluar dari Islam).
Pendapat ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair,
‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An
Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i,
Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah
bin Al Mubarrok, Ishaq bin
Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin
Habib (ulama Malikiyyah),
pendapat sebagian ulama
Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i
(sebagaimana dikatakan oleh Ath
Thohawiy), pendapat Umar bin
Al Khothob (sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Hazm),
Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman
bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan
sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan
bahwa orang yang
meninggalkan shalat dibunuh
dengan hukuman had, namun
tidak dihukumi kafir. Inilah
pendapat Malik, Syafi’i, dan salah
salah satu pendapat Imam
Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan
bahwa orang yang
meninggalkan shalat karena
malas-malasan adalah fasiq (telah
berbuat dosa besar) dan dia
harus dipenjara sampai dia mau
menunaikan shalat. Inilah
pendapat Hanafiyyah. (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan
pendapat dalam masalah ini di
antara para ulama termasuk pula
ulama madzhab. Bagaimana
hukum meninggalkan shalat
menurut Al Qur’an dan As
Sunnah? Silakan simak
pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang
Meninggalkan Shalat dalam
Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan
hal ini dalam Al Qur’an, namun
yang kami bawakan adalah dua
ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
َخَلَفَ ْنِم
ْمِهِدْعَب ٌفْلَخ
اوُعاَضَأ َةاَلَّصلا
اوُعَبَّتاَو
ِتاَوَهَّشلا
َفْوَسَف
َنْوَقْلَي اًّيَغ
اَّلِإ ْنَم َباَت
َنَمَآَو َلِمَعَو
اًحِلاَص
“Maka datanglah sesudah
mereka, pengganti (yang jelek)
yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak
akan menemui al ghoyya, kecuali
orang yang bertaubat, beriman
dan beramal saleh.” (QS.
Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhuma mengatakan bahwa
‘ghoyya’ dalam ayat tersebut
adalah sungai di Jahannam yang
makanannya sangat menjijikkan,
yang tempatnya sangat dalam.
(Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan
tempat ini –yaitu sungai di
Jahannam- sebagai tempat bagi
orang yang menyiakan shalat
dan mengikuti syahwat (hawa
nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah
orang yang hanya bermaksiat
biasa, tentu dia akan berada di
neraka paling atas, sebagaimana
tempat orang muslim yang
berdosa. Tempat ini (ghoyya)
yang merupakan bagian neraka
paling bawah, bukanlah tempat
orang muslim, namun tempat
orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah
telah mengatakan,
اَّلِإ ْنَم َباَت
َنَمَآَو َلِمَعَو
اًحِلاَص
”kecuali orang yang bertaubat,
beriman dan beramal saleh”.
Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah
mu’min, tentu dia tidak dimintai
taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala
berfirman,
َإِنْ اوُباَت
اوُماَقَأَو َةاَلَّصلا
اُوَتَآَو َةاَكَّزلا
ْمُكُناَوْخِإَف
يِف ِنيِّدلا
“Jika mereka bertaubat,
mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka
(mereka itu) adalah saudara-
saudaramu seagama.” (QS. At
Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini,
Allah Ta’ala mengaitkan
persaudaraan seiman dengan
mengerjakan shalat. Berarti jika
shalat tidak dikerjakan, bukanlah
saudara seiman. Konsekuensinya
orang yang meninggalkan shalat
bukanlah mukmin karena orang
mukmin itu bersaudara
sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
اَمَّنِإ
َنوُنِمْؤُمْلا
ٌةَوْخِإ
“Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara.” (QS.
Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang
Meninggalkan Shalat dalam
Hadits
Terdapat beberapa hadits yang
membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َنْيَب ِلُجَّرلا
َنْيَبَو ِكْرِّشلا
ِرْفُكْلاَو ُكْرَت
ِةَالَّصلا
“(Pembatas) antara seorang
muslim dan kesyirikan serta
kekafiran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim no. 257).
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu
-bekas budak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, beliau
mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َنْيَب ِدْبَعلا
َنْيَبَو ِرْفُكلا
ِناَمْيِإلاَو
ُةاَلَّصلا اَذِإَف
اَهَكَرَت ْدَقَف
َكَرْشَأ
“Pemisah antara seorang hamba
dengan kekufuran dan keimanan
adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia
melakukan kesyirikan.” (HR. Ath
Thobariy dengan sanad shohih.
Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini shohih. Lihat Shohih At
Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin
Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُسْأَر ِرْمَألا
ُمَالْسِإلا
ُهُدوُمَعَو
ُةَالَّصلا
”Inti (pokok) segala perkara
adalah Islam dan tiangnya
(penopangnya) adalah
shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if
Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits
ini, dikatakan bahwa shalat dalam
agama Islam ini adalah seperti
penopang (tiang) yang
menegakkan kemah. Kemah
tersebut bisa roboh (ambruk)
dengan patahnya tiangnya.
Begitu juga dengan Islam, bisa
ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat
Berijma’ (Bersepakat),
Meninggalkan Shalat adalah
Kafir
Umar mengatakan,
َال َمَالْسِإ ْنَمِل
َكَرَت َةَالَّصلا
”Tidaklah disebut muslim bagi
orang yang meninggalkan
shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar
berkata,
َّظَحَالو يِف
ِمَالْسِالا ْنَمِل
َكَرَت َةَالَّصلا
“Tidak ada bagian dalam Islam
bagi orang yang meninggalkan
shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik.
Begitu juga diriwayatkan oleh
Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al Iman.
Diriwayatkan pula oleh Ad
Daruquthniy dalam sunannya,
juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini
shohih, sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Al Albani dalam
Irwa’ul Gholil no. 209). Saat
Umar mengatakan perkataan di
atas tatkala menjelang sakratul
maut, tidak ada satu orang
sahabat pun yang
mengingkarinya. Oleh karena itu,
hukum bahwa meninggalkan
shalat adalah kafir termasuk
ijma’ (kesepakatan) sahabat
sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab
Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi
menganggap bahwa orang yang
meninggalkan shalat dengan
sengaja adalah kafir sebagaimana
dikatakan oleh seorang tabi’in,
Abdullah bin Syaqiq. Beliau
mengatakan,
َناَك ُباَحْصَأ
ٍدَّمَحُم -ىلص هللا
هيلع ملسو- َال
َنْوَرَي اًئْيَش
َنِم ِلاَمْعَألا
ُهُكْرَت ٌرْفُك
َرْيَغ ِةَالَّصلا
“Dulu para shahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah pernah menganggap
suatu amal yang apabila
ditinggalkan menyebabkan kafir
kecuali shalat.” Perkataan ini
diriwayatkan oleh At Tirmidzi
dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy
seorang tabi’in dan Hakim
mengatakan bahwa hadits ini
bersambung dengan menyebut
Abu Hurairah di dalamnya. Dan
sanad (periwayat) hadits ini
adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar
Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah
wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini
terlihat bahwasanya Al Qur’an,
hadits dan perkataan sahabat
bahkan ini adalah ijma’
(kesepakatan) mereka
menyatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat dengan
sengaja adalah kafir (keluar
dari Islam). Itulah pendapat yang
terkuat dari pendapat para ulama
yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan,
”Tidakkah seseorang itu malu
dengan mengingkari pendapat
bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir,
padahal hal ini telah dipersaksikan
oleh Al Kitab (Al Qur’an), As
Sunnah dan kesepakatan
sahabat. Wallahul Muwaffiq
(Hanya Allah-lah yang dapat
memberi taufik).” (Ash Sholah,
hal. 56)
Berbagai Kasus Orang yang
Meninggalkan Shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini
adalah meninggalkan shalat
dengan mengingkari
kewajibannya sebagaimana
mungkin perkataan sebagian
orang, ‘Sholat oleh, ora sholat
oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-
boleh saja, tidak shalat juga tidak
apa-apa]. Jika hal ini dilakukan
dalam rangka mengingkari
hukum wajibnya shalat, orang
semacam ini dihukumi kafir
tanpa ada perselisihan di antara
para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini
adalah meninggalkan shalat
dengan menganggap gampang
dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika
diajak untuk melaksanakannya,
malah enggan. Maka orang
semacam ini berlaku hadits-
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menunjukkan
kafirnya orang yang
meninggalkan shalat. Inilah
pendapat Imam Ahmad, Ishaq,
mayoritas ulama salaf dari
shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang
sering dilakukan kaum muslimin
yaitu tidak rutin dalam
melaksanakan shalat yaitu
kadang shalat dan kadang tidak.
Maka dia masih dihukumi
muslim secara zhohir (yang
nampak pada dirinya) dan tidak
kafir. Inilah pendapat Ishaq bin
Rohuwyah yaitu hendaklah
bersikap lemah lembut terhadap
orang semacam ini hingga dia
kembali ke jalan yang benar. Wal
‘ibroh bilkhotimah [Hukuman
baginya dilihat dari keadaan akhir
hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Jika seorang
hamba melakukan sebagian
perintah dan meninggalkan
sebagian, maka baginya
keimanan sesuai dengan perintah
yang dilakukannya. Iman itu
bertambah dan berkurang. Dan
bisa jadi pada seorang hamba
ada iman dan nifak sekaligus. …
Sesungguhnya sebagian besar
manusia bahkan mayoritasnya di
banyak negeri, tidaklah selalu
menjaga shalat lima waktu. Dan
mereka tidak meninggalkan
secara total. Mereka terkadang
shalat dan terkadang
meninggalkannya. Orang-orang
semacam ini ada pada diri
mereka iman dan nifak sekaligus.
Berlaku bagi mereka hukum
Islam secara zhohir seperti pada
masalah warisan dan
semacamnya. Hukum ini
(warisan) bisa berlaku bagi orang
munafik tulen. Maka lebih pantas
lagi berlaku bagi orang yang
kadang shalat dan kadang
tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini
adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak
mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat
orang kafir. Maka hukum bagi
orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil
(bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya
kejahilan pada dirinya yang dinilai
sebagai faktor penghalang untuk
mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah
untuk orang yang mengerjakan
shalat hingga keluar waktunya.
Dia selalu rutin dalam
melaksanakannya, namun sering
mengerjakan di luar waktunya.
Maka orang semacam ini tidaklah
kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela
sebagaimana Allah berfirman,
ٌلْيَو
َنيِّلَصُمْلِل )4(
َنيِذَّلا ْمُه ْنَع
ْمِهِتاَلَص
َنوُهاَس )5(
“Maka kecelakaanlah bagi orang-
orang yang shalat, (yaitu) orang-
orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] :
4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi
‘inda Syaikh Nashiruddin Al
Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga
shalat lima waktu. Barangsiapa
yang selalu menjaganya, berarti
telah menjaga agamanya.
Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk
amalan lainnya akan lebih disia-
siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al
Khoththob –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan, “Sesungguhnya di
antara perkara terpenting bagi
kalian adalah shalat. Barangsiapa
menjaga shalat, berarti dia telah
menjaga agama. Barangsiapa
yang menyia-nyiakannya, maka
untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi. Tidak ada bagian
dalam Islam, bagi orang yang
meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah-
juga mengatakan perkataan yang
serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat,
berarti telah meremehkan
agama. Seseorang memiliki
bagian dalam Islam sebanding
dengan penjagaannya terhadap
shalat lima waktu. Seseorang
yang dikatakan semangat dalam
Islam adalah orang yang betul-
betul memperhatikan shalat lima
waktu. Kenalilah dirimu, wahai
hamba Allah. Waspadalah!
Janganlah engkau menemui
Allah, sedangkan engkau tidak
memiliki bagian dalam Islam.
Kadar Islam dalam hatimu,
sesuai dengan kadar shalat
dalam hatimu.“ (Lihat Ash
Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang
bukanlah hanya meyakini
(membenarkan) bahwa shalat
lima waktu itu wajib. Namun
haruslah disertai dengan
melaksanakannya (inqiyad).
Karena iman bukanlah hanya
dengan tashdiq (membenarkan),
namun harus pula disertai
dengan inqiyad
(melaksanakannya dengan
anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan,
“Iman adalah dengan
membenarkan (tashdiq). Namun
bukan hanya sekedar
membenarkan (meyakini) saja,
tanpa melaksanakannya
(inqiyad). Kalau iman hanyalah
membenarkan (tashdiq) saja,
tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya,
kaum sholeh, dan orang Yahudi
yang membenarkan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah
(mereka meyakini hal ini
sebagaimana mereka mengenal
anak-anak mereka), tentu mereka
semua akan disebut orang yang
beriman (mu’min-mushoddiq).“
Al Hasan mengatakan, “Iman
bukanlah hanya dengan angan-
angan (tanpa ada amalan).
Namun iman adalah sesuatu
yang menancap dalam hati dan
dibenarkan dengan amal
perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah,
35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini
bermanfaat bagi kaum muslimin.
Semoga kita dapat mengingatkan
kerabat, saudara dan sahabat kita
mengenai bahaya meninggalkan
shalat lima waktu.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
[Muhammad Abduh Tuasikal]
Kangsoel
Seorang biasa, gak ada yang istimewa

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter