Pertanyaan
Ustadz Pengasuh yang saya hormati
Assalamualaikum wr. wb.
Saya banyak berdiskusi dengan teman-teman tentang masalah bunga pada bank (konvensinal). Kawan-kawan mengatakan, dalam keadaan sekarang riba sudah tidak haram lagi, karena kita dalam keadaan belum makmur. Bagaimana sebenarnya, ustadz? Mohon jawaban yang pasti dan untuk itu saya ucapkan terima kasih.
M. Zalal
Subulussalam.
Jawaban
Sdr M. Zalal, yth.
Waalaikumussalam wr. wb.
Secara sigkat pengasuh katakan bahwa riba yang telah dikatakan Alquran dan hadits haram hukumnya. Tetap haram walau bagaimana dan dimanapun serta apapun alasannya. Memang yang hukumnya haram itu, terkadang dapat dipakai karena keadaan sudah amat darurat, seperti kita makan bangkai babi sedang kita di tengah lautan dan sudah amat lapar sementara makanan lain tidak ada sama sekali.
Walaupun hukum makan bangkai, apalagi bangkai babi hukum tetap haram, cuma dimaafkan karena darurat itu. Demikian juga dengan riba. Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Hadits itu menjelaskan secara tegas tentang keharaman riba, bahaya yang ditimbulkan bagi pribadi dan masyarakat, serta ancaman bagi mereka yang berkecimpung dalam kubangan dosa riba, sebab Rasulullah saw menyebutkan laknat bagi orang- orang yang berserikat di dalamnya.
Akibat dari dosa riba ini telah dirasakan oleh banyak kalangan baik muslim maupun non muslim, karena riba merupakan kezhaliman yang sangat jelas dan nyata. Sehingga wajar kalau Allah swt dan Rasul mengancam orang yang telibat riba dengan berbagai ancaman. Di antaranya adalah: azab yang pedih, sebagaimana firman Allah swt: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275). Hilangnya keberkahan harta dari hasil riba dan pelakunya dicap melakukan tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah:276). Allah swt memerangi riba dan pelakunya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (QS. Al-Baqarah:279).
Selain ancaman Alquran, Rasulullah saw juga menjelaskan bahaya riba dan sekaligus mengancam pelakunya, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jabir di atas. Rasulullah saw juga bersabda, “Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no. 1871).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”. Atau 36 kali dalam hadits shahih riwayat Imam Ahmad. Riba sering dibagi kepada dua bentuk; Riba Nasi‘ah, yang berarti mengakhirkan masa pembayaran. Ini terbagi menjadi dua; Pertama, seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada seorang nasabah dengan membayar bunga sekian persen dalam kurun waktu tertentu dan dibayar dalam bentuk angsuran. Misalnya; seorang nasabah meminjam uang ke salah satu bank sebanyak Rp 100 juta dengan bunga 10 persen dalam jangka waktu 10 bulan, maka setiap bulan pihak nasabah harus mencicil hutangnya Rp 11 juta, jadi selama 10 bulan itu dia harus membayar Rp 110 juta.
Kedua, pihak nasabah membayar tambahan bunga baru dari bunga sebelumnya disebabkan karena tertundanya pembayaran pinjaman setelah jatuh tempo. Semakin lama tertunda pinjaman itu, maka semakin banyak tumpukan hutang yang harus ditanggung oleh pihak nasabah. Dalam kacamata Islam riba ini disebut riba jahiliyyah. Misalnya si A meminjam uang ke bank B sebanyak Rp 100 juta dengan bunga 10 persen dalam jangka waktu 10 bulan, setiap bulannya pihak peminjam harus mencicil Rp 11 juta, maka selama 10 bulan itu dia paling tidak harus membayar Rp 110 juta. Jika dia tidak menunda pembayaran (ini sudah jelas riba). Tapi jika sudah jatuh tempo dan dia belum bisa melunasi hutangnya maka hutangnya berbunga 15 persen dan begitu seterusnya (dalam kondisi seperti ini telah terhimpun dua bentuk riba sekaligus yaitu riba nasi‘ah dan riba fadhl), dan inilah yang berlaku di bank-bank konvesional yang disebut dengan istilah bunga.
Riba Fadhl, yaitu jual beli dengan sistim barter pada barang yang sejenis tapi timbangannya berbeda. Misalnya si A menjual 15 gram emas”perhiasan” kepada si B dengan 13 gram emas “batangan”, ini adalah riba karena jenis barangnya sama tapi timbangannya berbeda. Contoh kedua; menjual dengan sistim barter satu lembar uang kertas senilai Rp 100.000,- dengan uang kertas pecahan seribu senilai Rp 95.000,- atau 110.000,
Dampak negatif riba bagi pribadi dan masyarakat. Pertama, sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah saw bersabda, “Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku pasti masuk surga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga)” (HR.al-Bukhari).
Kedua, ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kalau berasal dari hasil riba. Rasulullah saw bersabda dalam hadis yang sahih, “Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik”. Ketiga, Allah swt tidak mengabulkan doa orang yang memakan riba, Rasulullah saw bersabda, “Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdoa, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan” (HR.Muslim)
Keempat, hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat” (HR.Ibnu Majah). Kelima, sistim riba menjadi sebab utama kebangkrutan negara dan bangsa. Realitas menjadi saksi bahwa negara kita ini mengalami krisis ekonomi dan keamanannya tidak stabil karena menerapkan sistim riba, karena para petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga ribawi tanpa memikirkan maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara ini bangkrut.
Keenam, pengembangan keuangan dan ekonomi dengan sistim riba merupakan penjajahan ekonomi secara sistimatis dan terselubung oleh negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Dan karena merasa berjasa menolong negara-negara berkembang, maka dengan kebijakan-kebijakan tertentu mereka mendikte negara yang dibantu tersebut atau mereka akan mencabut bantuannya. Ketujuh, memakan riba menjadi sebab utama su‘ul khatimah, karena riba merupakan bentuk kezhaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir atau lintah darat.
Kedelapan, pemakan riba akan bangkit di hari kiamat kelak seperti orang gila dan kesurupan. Ayat yang menyebut kan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat kelak. Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandung dua makna, maka dapat diartikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah layaknya orang kerasukan setan (tidak peduli, nekat dan ngawur, red). Demikian pula nanti di Akhirat mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu. Wallahu A’lamu Bisshawab
* Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA adalah Ketua Umum MPU Aceh
Ustadz Pengasuh yang saya hormati
Assalamualaikum wr. wb.
Saya banyak berdiskusi dengan teman-teman tentang masalah bunga pada bank (konvensinal). Kawan-kawan mengatakan, dalam keadaan sekarang riba sudah tidak haram lagi, karena kita dalam keadaan belum makmur. Bagaimana sebenarnya, ustadz? Mohon jawaban yang pasti dan untuk itu saya ucapkan terima kasih.
M. Zalal
Subulussalam.
Jawaban
Sdr M. Zalal, yth.
Waalaikumussalam wr. wb.
Secara sigkat pengasuh katakan bahwa riba yang telah dikatakan Alquran dan hadits haram hukumnya. Tetap haram walau bagaimana dan dimanapun serta apapun alasannya. Memang yang hukumnya haram itu, terkadang dapat dipakai karena keadaan sudah amat darurat, seperti kita makan bangkai babi sedang kita di tengah lautan dan sudah amat lapar sementara makanan lain tidak ada sama sekali.
Walaupun hukum makan bangkai, apalagi bangkai babi hukum tetap haram, cuma dimaafkan karena darurat itu. Demikian juga dengan riba. Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Hadits itu menjelaskan secara tegas tentang keharaman riba, bahaya yang ditimbulkan bagi pribadi dan masyarakat, serta ancaman bagi mereka yang berkecimpung dalam kubangan dosa riba, sebab Rasulullah saw menyebutkan laknat bagi orang- orang yang berserikat di dalamnya.
Akibat dari dosa riba ini telah dirasakan oleh banyak kalangan baik muslim maupun non muslim, karena riba merupakan kezhaliman yang sangat jelas dan nyata. Sehingga wajar kalau Allah swt dan Rasul mengancam orang yang telibat riba dengan berbagai ancaman. Di antaranya adalah: azab yang pedih, sebagaimana firman Allah swt: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275). Hilangnya keberkahan harta dari hasil riba dan pelakunya dicap melakukan tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah:276). Allah swt memerangi riba dan pelakunya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (QS. Al-Baqarah:279).
Selain ancaman Alquran, Rasulullah saw juga menjelaskan bahaya riba dan sekaligus mengancam pelakunya, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jabir di atas. Rasulullah saw juga bersabda, “Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no. 1871).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”. Atau 36 kali dalam hadits shahih riwayat Imam Ahmad. Riba sering dibagi kepada dua bentuk; Riba Nasi‘ah, yang berarti mengakhirkan masa pembayaran. Ini terbagi menjadi dua; Pertama, seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada seorang nasabah dengan membayar bunga sekian persen dalam kurun waktu tertentu dan dibayar dalam bentuk angsuran. Misalnya; seorang nasabah meminjam uang ke salah satu bank sebanyak Rp 100 juta dengan bunga 10 persen dalam jangka waktu 10 bulan, maka setiap bulan pihak nasabah harus mencicil hutangnya Rp 11 juta, jadi selama 10 bulan itu dia harus membayar Rp 110 juta.
Kedua, pihak nasabah membayar tambahan bunga baru dari bunga sebelumnya disebabkan karena tertundanya pembayaran pinjaman setelah jatuh tempo. Semakin lama tertunda pinjaman itu, maka semakin banyak tumpukan hutang yang harus ditanggung oleh pihak nasabah. Dalam kacamata Islam riba ini disebut riba jahiliyyah. Misalnya si A meminjam uang ke bank B sebanyak Rp 100 juta dengan bunga 10 persen dalam jangka waktu 10 bulan, setiap bulannya pihak peminjam harus mencicil Rp 11 juta, maka selama 10 bulan itu dia paling tidak harus membayar Rp 110 juta. Jika dia tidak menunda pembayaran (ini sudah jelas riba). Tapi jika sudah jatuh tempo dan dia belum bisa melunasi hutangnya maka hutangnya berbunga 15 persen dan begitu seterusnya (dalam kondisi seperti ini telah terhimpun dua bentuk riba sekaligus yaitu riba nasi‘ah dan riba fadhl), dan inilah yang berlaku di bank-bank konvesional yang disebut dengan istilah bunga.
Riba Fadhl, yaitu jual beli dengan sistim barter pada barang yang sejenis tapi timbangannya berbeda. Misalnya si A menjual 15 gram emas”perhiasan” kepada si B dengan 13 gram emas “batangan”, ini adalah riba karena jenis barangnya sama tapi timbangannya berbeda. Contoh kedua; menjual dengan sistim barter satu lembar uang kertas senilai Rp 100.000,- dengan uang kertas pecahan seribu senilai Rp 95.000,- atau 110.000,
Dampak negatif riba bagi pribadi dan masyarakat. Pertama, sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah saw bersabda, “Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku pasti masuk surga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga)” (HR.al-Bukhari).
Kedua, ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kalau berasal dari hasil riba. Rasulullah saw bersabda dalam hadis yang sahih, “Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik”. Ketiga, Allah swt tidak mengabulkan doa orang yang memakan riba, Rasulullah saw bersabda, “Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdoa, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan” (HR.Muslim)
Keempat, hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat” (HR.Ibnu Majah). Kelima, sistim riba menjadi sebab utama kebangkrutan negara dan bangsa. Realitas menjadi saksi bahwa negara kita ini mengalami krisis ekonomi dan keamanannya tidak stabil karena menerapkan sistim riba, karena para petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga ribawi tanpa memikirkan maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara ini bangkrut.
Keenam, pengembangan keuangan dan ekonomi dengan sistim riba merupakan penjajahan ekonomi secara sistimatis dan terselubung oleh negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Dan karena merasa berjasa menolong negara-negara berkembang, maka dengan kebijakan-kebijakan tertentu mereka mendikte negara yang dibantu tersebut atau mereka akan mencabut bantuannya. Ketujuh, memakan riba menjadi sebab utama su‘ul khatimah, karena riba merupakan bentuk kezhaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir atau lintah darat.
Kedelapan, pemakan riba akan bangkit di hari kiamat kelak seperti orang gila dan kesurupan. Ayat yang menyebut kan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat kelak. Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandung dua makna, maka dapat diartikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah layaknya orang kerasukan setan (tidak peduli, nekat dan ngawur, red). Demikian pula nanti di Akhirat mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu. Wallahu A’lamu Bisshawab
* Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA adalah Ketua Umum MPU Aceh
artikel: www.serabinews.com
Posting Komentar
Posting Komentar
jika anda kecewa dengan artikel ini, wajar karena saya jauh dari kata sempurna mohon komentar untuk mengingatkan saya,syukron